Rumi dan Mental Kita
Oleh Imam Nawawi MPd (Sekretaris Jenderal PP Syabab Hidayatullah)
APA yang terjadi dalam kolonialisme, yang paling parah adalah gerakan pembodohan terhadap pribumi. Pemutarbalikan fakta pun menjadi lumrah bagi para imperialis seperti Belanda.
DR. Qasim Assamurai pada buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul “Bukti-Bukti Kebohongan Orientalis” menjelaskan bahwa dalam penjajahan, termasuk di dalamnya orientalisme, segenap ilmu diabdikan untuk kepentingan penjajah. Khusus untuk Indonesia, Christian Snouck Hurgronje adalah pihak yang disebut menjadi agen Belanda untuk mengelabuhi bangsa Indonesia.
Mereka tidak melihat bangsa lain, kecuali sebagai bangsa terbelakang dan kosong dari ciri peradaban versi Barat. Akibatnya jelas, dalam beberapa masa perjalanan bangsa ini, kita pun pernah menjadi bangsa yang tidak percaya diri alias inferior, yang Belanda selalu menyebut kita dengan istilah inlander.
Inilah sebenarnya penjajahan yang paling buruk daripada sekedar Belanda mengangkut kekayaan alam Nusantara ini. Yakni penjajahan mental, dimana sampai hari ini, harus kita akui, sebagian besar pengelolaan sumber daya alam Indonesia, belum seutuhnya dieskplore untuk kemajuan rakyat Indonesia.
Lebih parah lagi, ketika pemimpin adalah orang yang bermental suka menyusahkan rakyat yang semestinya mereka perjuangkan sepenuh daya dan kesungguhan hati.
Mereka ini bukan tidak cerdas secara akademik, tetapi mereka tidak peka secara nurani. Wajah dan tubuhnya bangsa Indonesia, tetapi mindset dan hatinya bukan lagi Indoensia. Mereka telah lupa siapa diri mereka, dan mereka bergeming dengan jeritan rakyat.
Tetapi, kita tak perlu marah, benci, meski rasa sesal membuncah dalam dada. Tetap, dan jangan pernah menggunakan nalar hanya untuk puas mencaci maki mereka yang diperkuda jabatan.
Nelson Mandela berkata bahwa kebencian itu bagaikan seorang yang meminum racun dan mengharapkan musuhnya yang mati karena racun tersebut.
Mari melihat secara utuh dengan konsep Ilahiyah. Ya, mari kita mulai, sebab sesungguhnya, apapun dalam hidup ini, hakikatnya adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Rumi dalam salah satu baitnya mengajak kita melihat kenyataan hidup yang tentu saja relevan untuk membangun kebangkitan mental kita sebagai bangsa Indonesia.
Jika awan tak menangis
Akankah taman mekar?
Jika bayi tak menangis
Akankah susu mengalir?
Sang Perawat hanya beri susu
Kala keras tangismu
Kita pernah dijajah Belanda dalam waktu yang sangat lama, mereka pernah membuat bangsa ini bodoh sebodoh-bodohnya. Tetapi, Belanda tidak pernah berhasil, sebab kini Indonesia adalah negara yang merdeka, sekalipun kita masih harus mengeraskan “tangisan” (yang berarti perjuangan) kita sebagai generasi bangsa, dengan tidak percaya kepada apa dan siapa pun yang melemahkan jiwa kita sebagai bangsa Indonesia, sehingga kita mudah dipecah belah, dibodohi dan diadudomba.
Presiden Soekarno pernah menegaskan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Kesulitan semacam itu hingga melahirkan satu ungkapan penting berupa “Musuh dalam selimut.” Dan, negeri ini sudah nyaris seluruhnya terpedaya dengan tampilan gaya merakyat. Tetapi, nalar kembali bekerja kala kebijakan dan keberpihakannya, ternyata belum 100 % untuk mensejahterakan rakyat.
Dari sini nalar rakyat mulai bangun dan bangkit mencari sumber kebenaran, sehingga para penebar kebohongan kaget dan mengalami kepanikan luar biasa. Tetapi, siapapun tidak akan pernah mampu mengalahkan akal sehat.
Terlebih jika bangsa ini, khususnya kaum muda telah menyingkap dengan kekuatannya sendiri bahwa bangsa ini tidak bisa lagi terus dibohongi. Kecerdasan mereka akan mencuat dan melabrak segala kepandiran yang dikukuhkan. Seperti para pahlawan bangsa yang tak pernah terpedaya oleh Belanda.
Akan lahir kelompok kecil dari bangsa ini yang tidak akan pernah bisa dibeli dengan uang, yang menjadikan sebagian besar manusia kehilangan nalar dan idealisme sebagai bangsa Indonesia. Mereka inilah yang akan bisa mencerdaskan kehidupan bangsa dan senantiasa fokus membangun bangsa kini dan masa depan dan tidak mengambil dari bangsa asing, kecuali yang memperkuat jati diri dan kemajuan bangsa Indonesia.
Semua ini karena mereka sadar sepenuh jiwa bahwa Indonesia adalah anugerah Allah untuk rakyat Indonesia. Dan, hanya orang Indonesia yang kuat keimanannya, sehat nalarnya, yang normal jiwa-raganya, yang benar-benar ingin memajukan rakyat Indonesia.
Mereka seolah telah mengerti apa yang disampaikan Rumi, “Berhentilah mencari bebungaan di luar sana, ada taman di rumahmu sendiri.”
Artinya, mari bangun mental bangsa ini dan jangan pernah melihat bangsa lain lebih baik, kecuali untuk membaikkan rakyat di negeri ini.
Pertanyaannya, mungkinkah hal itu terjadi? “Apa pun yang dapat dipahami dan dipercayai oleh pikiran manusia, maka hal itu dapat dicapai. Pikiran itu menakjubkan! Dan keindahannya, jika dipadukan dengan ketetapan tujuan, dan hasrat yang membara, dapat berubah menjadi kekayaan (kejayaan).” Demikian ungkap Napoleon Hill.
Jika demikian, tak ada yang mustahil, jika kita mau “menangis” dengan keras sebagai wujud semangat pantang menyerah dalam memperjuangkan kebenaran, yang merupakan bukti dari ketergantungan kita kepada Allah Ta’ala yang selalu butuh akan pertolongan-Nya.
Jakarta 09 Januari 2017