News Breaking
PHTV
wb_sunny

Breaking News

Scarcity Akibat Wabah Covid-19, Bagaimana Sikap Pemuda Muslim?

Scarcity Akibat Wabah Covid-19, Bagaimana Sikap Pemuda Muslim?

Oleh Rizky Kurnia Syah*

DALAM kurun waktu 5 bulan belakangan, Allah Ta’ala sedang menguji peristiwa hidup segenap umat manusia menghadapi pandemic Covid-19.

Sejak wabah dengan kode genetik Sars-CoV-2 ini pertama kali terkonfirmasi tanggal 17 November 2019 di kota Wuhan Provinsi Hubei, hingga per tanggal 20 April 2020 pagi, angka kasus infeksi virus corona di dunia berjumlah 2.394.291 orang terinfeksi (2,39 juta). 

Dari jumlah tersebut, 164.938 orang dilaporkan meninggal dunia, dan 611.880 pasien telah dinyatakan sembuh. Adapun kasus terbanyak masih dicatatkan oleh Amerika Serikat dengan jumlah kasus lebih dari 700.000, disusul Spanyol, Italia, dan Perancis yang mengalami penurunan jumlah kasus baru dalam beberapa hari terakhir.

Di Indonesia per tanggal 19 April 2020, pemerintah mengumumkan total kasus Covid-19 yang telah dikonfirmasi sebanyak 6.575 kasus dengan angka kematian sebanyak 582 kasus dan jumlah pasien sembuh sebanyak 686 orang (Kompas).

Dari tinjauan keyakinan, paradigma pemuda muslim sejatinya tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi wabah covid-19 ini, seolah-olah ini merupakan peristiwa bencana hidup terbesar yang dialaminya.

Sebaliknya, sikap kita sebagai pemuda juga diharamkan untuk bersikap overconfidence dalam menyikapi pandemi global ini, sehingga dengan jumawa hidup seenaknya menabrak aturan dan sikap sosial yang telah dianjurkan oleh pemerintah dan ulama.

Angkuh dengan nikmat kesehatan dan kekuatan fisik yang telah Allah anugerahkan kepadanya dan tanpa merasa berdosa mengajak remaja dan pemuda lain melakukan aktifitas yang harunya penuh dengan nilai manfaat, namun hakikinya tidak tepat waktu dan tempat untuk dilaksanakan ditengah wabah seperti ini.

Mengapa musibah wabah covid-19 harus disikapi sebagai rangkaian ujian kehidupan yang tidak perlu disikapi berlebihan maupun disederhanakan? Sebab jawabannya sudah diterangkan Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 155:

“Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar".

Dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, secara individu, sepertinya manusia senantiasa dihadapkan pada setiap peristiwa hidup berupa ujian dan cobaan. Selesai dari satu ujian, muncul ujian baru. Cobaan juga datang silih berganti dengan derajat yang berbeda-beda pula setiap individu.

Ada kalanya cobaan yang datang tersebut intensitasnya ringan, kadang sedang, bahkan berat. Selain ujian individu, dalam beberapa momentum Allah Ta’ala menguji umat manusia secara bersamaan dalam satu persitiwa, intensitas, dan waktu yang skalanya bersamaan. Itulah yng biasa kita sebut dengan peristiwa bencana, baik bencana alam maupun bencana non alam.

Bencana alam (natural disaster) merupaka suatu peristiwa alam yang mengakibatkan dampak besar bagi populasi manusia. Peristiwa alam dapat berupa banjir, letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, badai salju, kekeringan, hujan es, gelombang panas, badai tropis, tornado, kebakaran liar dan dan lain-lain.

Salah satu bentuk bencana alam yang juga berkonfrontasi dengan manusia secara langsung adalah wabah penyakit, seperti yang sedang dilanda umat manusia saat ini. Permasalahannya, problem yang muncul akibat dari rangkaian pasca bencana tersebut berimbas pada lahirnya bentuk bencana lainnya, atau yang biasa disebut non natural disaster, yaitu bencana alam yang terjadi tidak secara alami.

Dampak nyata akibat dari peristiwa bencana tersebut adalah kelaparan, yaitu kekurangan bahan pangan dalam jumlah besar yang disebabkan oleh kombinasi faktor manusia dan alam.

Peristiwa rentatan bencana ini dalam disiplin ilmu ekonomi menjadi problem paling mendasar yang disebut scarcity atau kelangkaan. Kelangkaan terjadi terjadi apabila terjadinya gap atau ketidakseimbangan antara kebutuhan (keinginan) manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas.

Dari ketidakseimbangan itulah terjadinya kelangkaan (scarcity). Dalam perkembangannya problem kelangkaan dipecah menjadi tiga pokok permasalahan. Kelangkaan ini mencakup jumlah, kualitas, tempat, dan waktu.

Sesuatu disebut tidak langka jika jumlahnya berlimpah, bermutu baik, dan dapat ditemukan di segala tempat dan waktu. Ketika kebutuhan - kebutuhan tersebut masih bisa dipenuhi oleh sumber daya yang ada, maka tidak akan terjadi persoalan, bahkan juga tidak akan terjadi persaingan.

Namun manakala kebutuhan seseorang atau masyarakat akan barang dan jasa sudah melebihi kemampuan penyediaan barang dan jasa tersebut, maka akan terjadilah apa yang disebut kelangkaan.

Kelangkaan juga dialami oleh tenaga kerja terutama menyangkut waktu mereka dalam bekerja. Jika tenaga kerja telah memilih satu pekerjaan tertentu, ia tidak bisa lagi bekerja di tempat lain pada waktu yang sama. Namun, meskipun sumber daya tersebut langka, sumber daya tersebut memiliki alternatif penggunaan. Dengan adanya alternatif penggunaan, maka manusia bisa melakukan pilihan.

Kelangkaan bukan hanya terjadi disebabkan keterbatasan sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan akibat dari peristiwa seperti bencana alam, namun juga karena faktor-faktor lain seperti human error, teknologi, tempat, terbatasnya produksi dan lainnya. Sehingga sangat memungkinkan kelangkaan terjadi dalam kehidupan.

Memilih Bersikap Materil atau Islami?

Scarcity yang akan ditimbulkan oleh wabah covid-19 ini terjadi disebabkan oleh ketidaksigapan manusia dalam mengatasi impact dari peristiwa kehidupan ini. Khususnya di Indonesia, dalam kacamata pakar dan pemerhati ekonomi, Indonesia saat ini sudah masuk pada tahapan financial impact. 

Sebentar lagi, jika financial impact ini tidak bias diatasi, akan terjadi tragedi economy impact (krisis ekonomi/kelangkaan) yang berakibat pada social impact, tahapan peristiwa mengerikan yang ingin dihindari setiap kita.

Social impact ini akan menyebakan penjarahan, perampokan, pembunuhan, dan perilaku sosial buruk lainnya demi untuk mempertahankan hidup dirinya dan kelomponya dan mengorbankan manusia dan kelompok lainnya.

Beberapa waktu silam Presiden Joko Widodo menetapkan virus Corona sebagai bencana nasional dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020. Dalam hal ini, status bencana nasional tentu saja memiliki skala dampak yang luas. Tidak hanya satu daerah, tapi seluruh daerah sudah terdampak. Itu besar.

Yang kedua, pengaruhnya tidak satu sektor, banyak sektor yang terdampak. Dan ini melumpuhkan sendi-sendi perekonomian secara nasional. Penetapan status ini akan berdampak pada banyaknya sendi-sendi perekonomian Tanah Air yang akan lumpuh jika tidak diselesaikan secara bijak.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam sebagaimana dikutip Detik Finance (14 April 2020) menilai penetapan status ini lebih kepada penyebaran wabahnya. Dengan ditetapkannya sebagai bencana nasional maka langkah-langkah penanganannya disesuaikan dengan status bencana nasionalnya.

Jadi kaitannya dengan penanganan wabahnya. Status wabah itu tidak ada hubungannya dengan kondisi perekonomiannya. Ia mengatakan, dampak Corona terhadap perekonomian sudah terlihat sebelumnya. Namun, dengan ditetapkannya Corona sebagai bencana nasional, belum berarti menetapkan pandemi tersebut juga bencana bagi perekonomian.

Menurutnya, bencana itu adalah bencana dari wabahnya. Bukan bencana dari perekonomiannya. Perekonomiannya belum menjadi bencana. Tetapi wabah covid-19 itu berpotensi menjadi bencana ekonomi. Tapi bencana ekonominya belum. Karena itu belum, dalam rangka menangani perekonomiannya, pemerintah punya langkah-langkah. Termasuk mempersiapkan stimulus dan sebagainya itu termasuk dalam rangka mencegah supaya tidak terjadi bencana ekonomi.

Menghadapi ujian dan berbagai cobaan ini, manusia terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu ada yang sukses dan ada pula yang larut dalam kegagalan. Biasanya, orang yang sukses akan bahagia. Adapun orang yang gagal dalam menghadapi musibah akan merasa putus asa dan merana.

Alangkah durjananya kita kepada Allah Ta’ala, manakala Dia telah memberikan fasilitas rahmat serta keluasan rejeki kepada manusia, namun kebanyakan manusia lalai dan terkadang karena kasih saying-Nya lah kepada umat manusia, Allah tak segan-segan memperingatkan kita lewat bencana maupun cobaan kepada setiap pribadi manusia.

Sampailah kita pada tataran memilih sikap. Sebagai pemuda muslim, harusnya doa kita tidak terfokus, apalagi berhenti pada permohonan agar Allah Ta’ala segera menghilangkan pandemi global ini.

Sebenarnya, tidak salah setiap kita berharap demikian, tetapi dengan penjelasan Allah dalam firman-Nya pada QS. al Baqarah ayat 155, selayaknya kita perlu bersyukur dan dengan sabar menjalani wabah ini sampai Allah Ta’ala menghentikan peristiwa ujian ini kepada manusia.

Sikap terbaik bagi pemuda adalah dengan berdoa dan berikhtiar maskimal, agar ujian wabah Covid-19 ini menjadi asbab Allah Ta’ala merahmati hidup dan kehidupan kita.

Demikianlah sejatinya arti hidup bagi setiap muslim. Dalam hadits disebutkan, sesungguhnya Abu Hurairah berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816).

Imam Nawawi rahimahullah memberikan keterangan yang sangat bagus, “Ayat-ayat Al-Qur’an yang ada menunjukkan bahwa amalan bisa memasukkan orang dalam surga. Maka tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang ada. Bahkan makna ayat adalah masuk surga itu disebabkan karena amalan. Namun di situ ada taufik dari Allah untuk beramal. Ada hidayah untuk ikhlas pula dalam beramal. Maka diterimanya amal memang karena rahmat dan karunia Allah. Karenanya, amalan semata tidak memasukkan seseorang ke dalam surga. Itulah yang dimaksudkan dalam hadits. Kesimpulannya, bisa saja kita katakan bahwa sebab masuk surga adalah karena ada amalan. Amalan itu ada karena rahmat Allah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 14: 145).

Dalam menyikapi peristiwa kelangkaan akibat virus covid-19, dalam perspektif masyarakat peradaban materil (ekonomi konvensional), pada dasarnya berangkat dari kombinasi antara kelangkaan (scarcity) dan keinginan yang tidak terbatas (unlimited wants).

Sebagai solusi, untuk menyelesaikan problem kelangkaan, manusia konvensional akan menyelesaikannya dengan dua acara, yaitu memproduksi (memperbanyak) jumlah kebutuhan (barang dan jasa), serta mengurangi jumlah manusia. Konsekuensi dari memproduksi jumlah kebutuhan, maka manusia harus melakukan choices (pilihan) dalam hal what to produce (apa yang akan diproduksi), how to produce (bagaimana cara memproduksi) dan for whom to produce (untuk siapa produksi ini).

Dalam konstruksi keilmuannya, maka landasan pengembangan ilmu ekonomi konvensional adalah paham rasionalisme dan empirisme dimana teori-teori yang dibangunnya harus memenuhi kaidah logis dan empiris, yang bebas dari intervensi nilai agama.

Logis berarti sesuai dengan nalar dan pemikiran manusia, sementara empiris berarti dapat dibuktikan secara nyata. Peran nilai dianggap nihil kecuali memenuhi kaidah logis dan dapat dibuktikan secara empiris. Klaim yang dibangun adalah ilmu ekonomi konvensional adalah ilmu yang bebas nilai.

Jika menelaah dalam kondisi riil di tengah peristiwa pandemic global saat ini, cara manusia dalam memenuhi (memproduksi) sumberdaya kebutuhan hidupnya yaitu dengan melakukan perilaku ihtikar (penimbunan) bahan pokok berupa sandang, pangan, dan papan. Ihtikar tidak hanya terjadi pada kebutuhna sehari-hari, namun juga terjadi di sektor kesehatan, terutama APD (alat pelindung diri).

Penjelasan solusi mengurangi jumlah manusia, sebagai konsekuensi manusia dalam menghindari kelangkaan terjelaskan sebagai upaya individu, kelompok, atau negara, bias berupa kebijakan sosial dan hukum yang menitikberatkan agar dirinya, kelompoknya, ataupun negaranya tetap dapat memenuhin kebutuhan hidupnya dan terhindar dari wabah covid-19 untuk mempertahakna kehidupan, meskipun dalam kebijakan sosial dan hukum yang diterapkan tersebut berakibat gugurnya kelompok manusia lain.

Sementara perspektif masyarakat peradaban islami tidak demikian. Jika menelaah kondisi riil seperti saat ini, dalam proses memenuhi kebutuhan hidup, peran nilai sangat penting dan mempengaruhi usaha manusia. Nilai yang dianut oleh manusia akan mempengaruhi pola fikir dan pola tindakan manusia dalam kegiatan ekonomi yang dilakukannya.

Karena itu, ilmu ekonomi adalah value loaded science (ilmu yang sarat dengan nilai) dan bukan menjadi ilmu yang bebas nilai atau tanpa nilai. Disinilah pentingnya memahami kelangkaan dalam pendekatan Islam, bagaimana Islam mengatur sistem perekonomian yang akan melahirkan kebaikan dan manfaat bagi umat manusia.

Namun demikian, pertanyaan mendasar terkait dengan pendekatan syariah ini adalah apakah yang menjadi titik berangkat konsep scarcity dalam Islam persis adanya sebagaimana pendekatan konvensional?

Titik poin (starting point) ekonomi Islam didasarkan pada konsepsi tentang bagaimana manusia melaksanakan tugasnya sebagai ‘Abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah fil ardh (khalifah di muka bumi) dalam memakmurkan bumi dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara individu maupun secara kolektif. Jadi bukan semata-mata didasarkan pada kombinasi konsep keinginan manusia yang tidak terbatas dan kelangkaan sumberdaya sebagaimana pendekatan ekonomi konvensional.

Sebagai seorang hamba, manusia harus memiliki keyakinan bahwa Allah Ta’ala telah menjamin rezeki seluruh hamba-Nya. Bahkan makhluk-makhluk yang lebih lemah dari manusia sekalipun telah dijamin rezekinya oleh Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana dinyatakan-Nya dalam Al-Quran Surat Al-Ankabut (29) ayat 60:

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar".

Dengan konsep ar-Razaq (Maha Pemberi Rizki), maka penyikapan konsep kelangkaan dalam peradaban Islami secara umum, dibagi menjadi 2, yaitu: pertama, absoulute scarcity (kelangkaan absolut), yaitu kelangkaan sumberdaya akibat keterbatasan jumlah sumberdaya yang dimiliki.

Dan, yang Kedua, relative scarcity (kelangkaan relatif), yaitu kelangkaan yang terjadi akibat keterbatasan “pengetahuan yang dimiliki manusia (human knowledge)” dan ”ketidakadilan system (unjust system),” bukan karena keterbatasan jumlah sumberdaya yang ada.

Lantas, bagaimana sikap kita sebagai pemuda dalam menghadapi kelangkaan di tengah wabah ini? Apakah kita terlarut berpikir dan berperilaku sama dengan manusia kebanyakan, yang rela memrpoduksi sumber daya dan membunuh manusia lainnya, bahkan dengan cara yang melanggar norma agama?

Ataukan, kita memantapkan diri mengubah mindset hidup kita sebagai bagian dari kehidupan, bertaubat dan mengubah pola hidup kita sesuai dengan tuntunan wahyu Ilahi?

Sebagai pemuda muslim, kita harus meyakini bahwa jaminan rezeki dari Allah Ta’ala selama manusia mau berikhtiar menunjukan tidak adanya absolute scarcity. Pada dasarnya Allah menciptakan langit, bumi beserta seluruh isinya untuk kepentingan kehidupan manusia.

Dengan konsepsi ini, maka dari sisi jumlah, sumberdaya yang ada menjadi tidak terbatas. Kalaupun ada sumberdaya yang dapat habis seperti sumber energi yang tidak terbarukan, maka sumberdaya alternatif akan selalu ada sehingga manusia tidak perlu khawatir akan kehilangan sumberdaya. Tinggal bagaimana manusia mengoptimalkan potensinya dalam mengelola sumberdaya yang ada, dan mamanfaatkan sumberdaya yang ada sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya.

Yang seringkali terjadi, bahkan ditengah wabah covid-19 saat ini, kebanyakan manusia tamak dalam mengelola sumber daya sehingga menimbulkan beragam problem sosial, berimbas pada persoalan kerusakan lingkungan alam dan lingkungan sosial yang semakin parah, yang mengancam keberlanjutan usaha manusia di masa depan.

Hal itu diperparah dengan ketidakadilan sistem ekonomi dimana akses dan distribusi sumberdaya ini tidak merata. Sebagian kelompok manusia mendapatkan privilege lebih besar dibandingkan kelompok manusia yang lain sehingga memunculkan adanya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

Akibatnya, sebagian manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak sehingga keberadaan sumberdaya menjadi hal yang langka bagi mereka. Inilah yang dimaksud dengan relative scarcity.

Untuk meminimalisir terjadinya kelangkaan relatif dan ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya, maka ajaran Islam hadir memberikan tuntunan yang bersifat komprehensif kepada seluruh manusia.

Al-Quran dan Sunnah, sebagai sumber hukum tertinggi, telah menggariskan prinsip-prinsip ekonomi yang akan melahirkan keadilan dan kemaslahatan  bagi kehidupan manusia.

______
*) RIZKY KURNIA SYAH, penulis adalah Kepala Departemen Perkaderan Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah dan menyelesaikan program Magister Ekonomi Syariah di STEI Tazkia Bogor. 

Tags