Mentalitas Pemuda Pejuang dan Kemuliaan sebagai Seorang Muslim
BARU BARU ini dunia diramaikan oleh sebuah peristiwa penting yang mengundang pro kontra. Perjalanan penjang sekaligus bukti perjuangan melawan sekularisme yang dibuktikan dengan berfungsinya kembali Hagia Shopia menjadi masjid di Turki.
Selama kurang lebih 26 tahun, Erdogan melalui jalur politik kekuasaan mampu membawa perubahan yang signifikan dan memberikan corak warna peradaban bagi negara yang dulu pernah menjadi pusat pemerintahan Ottoman.
Menarik dibincangkan karena Turki merupakan salah satu negara yang banyak menyimpan sejarah perjalanan peradaban bangsa di dunia. Selain itu, ada hal yang sangat fundamental, yakni mentalitas pejuang yang menyertai perjalanan bangsa Turki khusunya para pemimpinnya dalam membawa Turki dari mulai dibebaskannya Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih dan sempat menjadi pusat ke khalifahan Islam pada masa Turki Utsmani.
Lantas, sistem kekhalifahan digantikan Kemal Attaturk yang merubah sistem kenegaraan dari Islam ke demokrasi sekuler. Hingga pada masa Erdogan saat ini yang sedikit demi sedikit telah merubah tatanan sistem kehidupan yang dibangun oleh penguasa sebelumnya.
Mentalitas inilah yang kemudian menjadi tolok ukur dari kemajuan dan kemunduruan sebuah bangsa. Sepanjang perjalanan peradaban bangsa senantiasa dihadapkan pada dua kenyataan yang berbeda, mentalitas pejuang dan pemenang akan tampil sebagai bangsa yang punya peradaban maju.
Sedangkan bangsa yang bermental inferior, pengecut dan penakut akan menjadi bangsa yang jumud dan mengalami kemunduran. Semua bangsa akan mengalami ujian mentalitas ini dan tidak semuanya bisa lulus.
Bangsa Indonesia telah melalui ujian mentalitas ini pada masa penjajahan yang menganggap penjajah adalah orang yang punya kapasitas dan kapabilitas untuk mengelola negeri ini, sedangkan bangsa pribumi hanya sebagai pekerja kasar yang tidak mengetahui apa-apa. Hingga akhirnya lahir para pemuda pejuang yang punya mental pemenang menyadarkan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
Sebelum Islam hadir sebagai rahmatan lilalamin, bangsa Arab merupakan bangsa dengan mental inferior. Mereka tak mampu bangkit menjadi bangsa dengan peradaban tinggi seperti halnya Romawi dan Persia.
Jangankan menandingi, sekedar berfikir untuk menyamai peradaban Romawi dan Persia saja mereka tidak mampu. Ini diakui oleh Abu Sofyan setelah ia masuk Islam, “dulu kita sekedar bisa bertemu dengan bangsa Romawi dan Persia senangnya sudah sangat luar biasa dan ceritanya di kampung hingga sampai kemana-mana”. Sehingga dalam kurun waktu yang cukup lama bangsa Arab hanya menjadi bangsa kecil yang tak pernah diperhitungkan oleh sejarah.
Muhammad SAW hadir di tengah-tengah bangsa Arab dengan membawa seperangkat alat untuk mengubah mental mereka. Ia membuka cakrawala dan mengubah cara berfikir mereka dengan Iqra’ bismi rabbik, keluar dari zona nyaman yang disimbolkan dengan “orang-orang yang berselimut”.
Ia memotivasi umat dengan “kuntum khairu ummah”, menumbuhkan jiwa kepemimpinan degan seruan “inni jaailum fil ardi khalifah” dan manajerial dengan mengatakan “kelompok besar yang tidak termanage akan dikalahkan oleh kelompok kecil yang terorganisir dengan baik” hingga janji kemenangan “akan dibebaskan Syam, Romawi dan Persia”.
Bangsa yang dulu tidak punya keberanian berperang dengan bangsa Persia dan Romawi, takut melakukan negosiasi politik, berinteraksi dengan berbagai budaya, bangsa, agama dan lari dari percaturan peradaban dunia. Kemudian tampil sebagai bangsa yang dapat mengalahkan imperium Romawi dan Persia.
Dalam kurun 23 tahun bangsa Arab mampu bermetamorfosis menjadi bangsa yang diperhitungkan. Mereka telah menguasi bidang keilmuan, ekonomi dan politik dunia. Bangsa yang dulu bermental budak berubah menjadi bangsa dengan mental pemimpin.
Tak berhenti pada zaman nabi, generasi selanjutnya juga mampu melakukan gerakan perubahan dengan mentalitas pejuang. Saat mereka berhadapan dengan problematika keummatan dalam bidang agama, pendidikan, politik, ekonomi dan sosial mereka senantiasa dapat menjadi secercah cahaya di tengah kegelapan.
Motivasi dari sang nabi telah mampu mengubah persepsi para sahabat untuk bermental pejuang, ekspansi terus dilakukan sebagai bukti bahwa mereka adalah bangsa yang layak diperhitungkan.
Artinya bahwa perangkat untuk menjadi pemuda unggul dan bangsa yang punya peradaban maju sudah ada, yakni Islam. Ia mampu mengubah mental pencundang menjadi pejuang, mental pasif menjadi mental ekspansif, dari yang partisan menjadi perancang dan pembuat peta perubahan.
Semua itu dimulai dari syahadat “tidak ada tuhan selain Allah” yang berkonotasi menyingkirkan segala bentuk penuhanan kepada munusia, jabatan dan keduniaan. Iqra’ bismi rabbik, membaca dan membuka cakrawala berfikir kita dan keluar dari zona nyaman dengan turun ke medan juang mencerahkan umat manusia.
Maka hari ini kita melihat Amerika, Eropa dan China mampu membangun peradaban dunia disebabkan oleh mentalitas bangsa itu sendiri. Mereka berani bangkit lalu melakukan ekspansi ke seluruh penjuru dunia, menjajah bangsa-bangsa yang punya mentalitas budak, seperti bangsa Arab sebelum Islam datang.
Kita adalah bangsa pemenang dan saatnya kita tampil ke gelanggang. Begitulah semestinya mental pemuda pejuang. Dalam dirinya tertanam izzah sebagai seorang muslim yang lahir untuk menjadi pemimpin dan sebaik-baik umat di antara umat-umat yang lain.
*) BUSTANUL ARIFIN, penulis adalah Kepala Departemen Organisasi Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah