Bagaimana Menata Pikiran Sebagaimana Diteladankan Nabi
KETIKA Makkah dihantam krisis moral luar biasa, Allah mengutus Nabi Muhammad ï·º bukan dengan memerintahkan untuk membangun kekuatan pemusnah. Melainkan perintah untuk membaca. Bukan sembarang membaca, tetapi membaca dengan nama Tuhan, Iqra’ Bismirabbik.
Fakta sejarah ini menarik ditelisik lebih dalam, mengapa dalam situasi carut marut dan centang perenang, yang pertama harus dilakukan oleh Nabi akhir zaman itu justru kegiatan membaca dengan nama Tuhan?
Ada banyak analisa yang bisa dihadirkan untuk menemukan jawaban atas semua ini. Pertama, manusia perlu mengenal siapa hakikat dirinya dan siapa sebenarnya yang disebut Tuhan yang layak disembah, dipatuhi, dan ditaati.
Membaca dengan nama Tuhan merupakan aktivitas yang secara intelektual dan spiritual harus mengantarkan manusia pada satu kesimpulan tegas, bahwa di alam raya ini semua ada, mewujud, dan berjalan dengan seimbang adalah karena adanya Tuhan, yakni Allah Ta’ala.
Saat pemahaman itu hadir, maka langkah berikutnya adalah memahami hakikat diri manusia itu sendiri yang sejatinya tidak punya daya apa-apa bahkan hina di hadapan Tuhan. Bagaimana tidak, manusia adalah makhluk yang diciptakan dari segumpal darah, dari tetes air mani, yang secara substansi jelas tidak ada manusia yang menyukai itu semua. Namun, diakui atau tidak, itulah “bahan” utama manusia diciptakan.
Karena itu, Fakhrudin Al-Razi dalam Aja’ibul Quran menegaskan bahwa hanya Tuhan yang mampu menciptakan makhluk yang sempurna dari bahan yang sangat hina. Ini berarti, mutlak yang namanya manusia tunduk, patuh, kepada Tuhan. Bukan sebaliknya, merasa cukup, angkuh, dan menolak kebenaran.
Ketika manusia mengenal siapa hakikat Tuhan, pada saat yang sama juga mengenal dirinya sebagai hamba, maka tidak akan ada orientasi dalam hidupnya, melainkan bagaimana mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Belakangan, Alquran menyebut manusia yang demikian sebagai ulul albab (manusia yang berpikir dan berdzikir).
Kedua, memahami bahwa hakikat manusia, satu dengan yang lain adalah sama. Tidak ada yang membedakan satu manusia dengan manusia lain di hadapan Allah selain ketaqwaan. Dan, kesadaran ini akan mudah diterima siapapun jika dalam proses memahami realitas tidak dibebani oleh pretensi apapun.
Kesadaran akan hal ini mendorong setiap jiwa umat Islam memiliki superioritas tinggi terhadap manusia, ajaran, maupun kedudukan orang lain, sehingga kesiapan diri membawa, mendakwahkan dan mengembangkan risalah Islam benar-benar didasari oleh pemahaman utuh, keyakinan bulat, bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin.
Lebih jauh dalam konteks perjalanan Hidayatullah dengan manhaj Sistematika Wahyu, memahami Al-Alaq akan sangat berpengaruh terhadap komitmen hidup ber-Quran (Al-Qalam), membangun tradisi penguatan ruhiyah dan intelektual (Al-Muzzammil) hingga kesiapan mental untuk tandang ke gelanggang untuk dakwah, dalam arti pencerahan, edukasi, hingga amar ma’ruf dan nahi munkar. Puncaknya tegak peradaban dengan spirit Al-Fatihah.
Sebagai sebuah manhaj, Sistematika Wahyu, yang relevansinya dengan sejarah dan tantangan zaman senantiasa faktual maka sangat penting kader Pemuda Hidayatullah memahami hal ini dengan sebaik-baiknya, agar dapat terus menajamkan visi yang dimanivestasikan dengan langkah awal sangat strategis, yakni penataan pemikiran. Langkah ini mutlak diperlukan agar tidak terombang-ambing segala hal yang tampak besar, padahal sifatnya sporadis dan sangat segmentatif. Allahu a’lam.*
IMAM NAWAWI, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah