Profesor Abdul Fatah El Awaisi Titip Pesan ke Ketum Pemuda Hidayatullah
JAKARTA - Dalam sebuah kesempatan acara Kuliah Peradaban sesi IV yang digelar di Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah Jakarta, penulis yang juga penggagas studi akademik pertama tentang Islamic Jerussalem (Baitul Maqdis) Prof. DR. Abdul Fatah El Awaisi menyapa Ketua Umum PP Pemuda Hidayatullah Imam Nawawi.
Saat itu, Ketum Imam pada sesi tanya jawab menanyakan kepada profesor El Awaisi tentang metode atau cara paling efektif bagi generasi muda sekarang sebagai sebuah "inisiatif kebangkitan" agar dapat terlibat secara nyata membebaskan Baitul Maqdis.
El Awaisi tampak girang betul. Guru besar Hubungan Internasional ini pun mengapresiasi pertanyaan Imam. "Pertanyaan yang bagus sekali. Pertanyaan ini yang selama hidup memenuhi hati dan pikiran saya. Menjawab pertanyaan ini butuh daurah 10 hari. (Tapi) daurah 10 hari kita persingkat beberapa menit," katanya diakhiri candaan yang disambut tawa peserta.
Profesor mengaku siap menjadi mentor kegiatan daurah untuk membedah Baitul Maqdis dari berbagai aspek secara ilmiah dengan Pemuda Hidayatullah. Ia dengan nada bercanda mengatakan kesepakatan kegiatan daurah ini adalah antara 2 pemuda yaitu pemuda Hidayatullah dengan pemuda yang duduk di kursi narasumber (maksudnya dirinya yang juga rasanya seperti anak muda).
Profesor kemudian dengan tegas mengatakan bahwa pemuda memiliki tanggung jawab besar membebaskan Baitul Maqdis dan untuk melakukan hal tersebut haruslah dengan ilmu.
“Tanggung jawab pembebasan Baitul Maqdis ada di pundak pemuda,” kata El-Awaisi saat menjadi narasumber Kuliah Peradaban sesi-4 secara hibryd di Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah, Jakarta, Selasa, 28 Rajab 1443 (1/3/2022)
Ia pun berbagi kisah mengenai upayanya melakukan telaah ilmiah mendalam tentang Baitul Maqdis yang sudah dibukukan dan kini telah diterjemahkan berjudul “Roadmap Nabawiyah Pembebasan Baitul Maqdis”. Buku ini ditulisnya selama 30 tahun lebih berdasarkan kajian, rihlah ilmiah, kesaksian selama hidup, dan analisa.
“Ilmu itu penentu amal. Bagaimana ilmu seseorang maka begitulah amalnya. Benar berfikir (maka) benar amalnya. Salah berfikir, salah amalnya. Jadi kalau mau membuat sesuatu yang konkrit, selesaikan buku ini. Bedah, pelajari, kaji, insya Allah, ini adalah intinya inti dari pemikiran saya selama lebih 30 tahun,” katanya melalui penterjemah Ust Ardhi Rosyad.
Berkenaan dengan pentingnya ilmu tentang Baitul Maqdis, El-Awaisi menekankan bahwa jangan hanya lantang menyuarakan pembebasan Baitul Maqdis tetapi minim pengetahuan tentangnya. Kondisi ini ia istilahkan seperti investor yang mau menamam modal tapi tidak tahu tentang yang akan ditanami saham.
“Bagaimana mungkin kita berorasi untuk membebaskan Baitul Maqdis tapi ternyata masyarakat kita tidak tahu apa apa tentang Baitul Maqdis. Tidak tahu bahwa Masjidil Aqsha adalah masjid yang mulia. Tidak tahu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berjuang membebaskan Baitul Maqdis selama hidupnya,” ungkapnya.
Dia berpesan kepada Ketum Imam dan hadirin, apa yang kita sampaikan tentang pembebasan Baitul Maqdis tidak akan masuk jika tak ada maklumat sedikitpun berupa ilmu tentang Baitul Maqdis. Hal ini kemudian senafas dengan wahyu pertama turun yang memerintahkan untuk membaca.
“Wahyu yang turun pertama kali kepada Nabi bukan berperanglah, atau bunuhlah. Tapi, bacalah (iqra’!). Akan tetapi, perlu digaris bawahi, harus tekan kontrol B, tebalkan. Baca atas nama siapa?,” kata El-Awaisi seraya bertanya kemana muara pembacaan itu dilakukan. El-Awaisi kemudian menekankan bahwa pembacaan tersebut adalah atas sepenuh bimbingan Allah SWT.
“Inilah, yang, sayang sekali, bukan hanya kita, orang orang Arab bahkan orang Palestina sendiri terlalaikan selama lebih dari 100 tahun ini. Yaitu ilmu dan makrifat,” ujarnya kemudian.
Lebih jauh, Profesor Hubungan Internasional di Istanbul Sabahattin Zaim University, Turki, ini menyampaikan tentang kedudukan istimewa Baitul Maqdis sebagai pusat peradaban dunia.
“Bahkan, kita harus percaya diri menyatakan dan meyakini bahwa Baitul Maqdis adalah pusat keberkahan dan insya Allah akan memimpin semua peradaban dunia,” katanya.
Konsekwensinya kemudian adalah ketika kondisi Baitul Maqdis khususnya Masjidil Aqsha tidak berada di tangan umat Islam maka melemahlah peradaban dunia khususnya peradaban Islam.
Sebaliknya, ketika Baitul Maqdis khususnya Masjidil Aqsha berada dalam kepemimpinan dan genggaman umat Islam, maka peradaban Islam akan berada dalam puncak kejayaannya.
Baitul Maqdis, terang El-Awaisi, memiliki ikatan yang kuat dengan Islam dari awal dakwah ini yaitu sejak malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dan memerintahkan membaca (iqra’!). “Sejak itu juga Baitul Maqdis memiliki ikatan yang kuat dengan Islam dan umat Islam,” imbuhnya.
Baitul Maqdis juga merupakan kiblat pertama umat Islam dimana Rasulillah SAW shalat menghadap Baitul Maqdis sebelum isra’ miraj. Barulah setelah isra’ miraj turun perintah untuk shalat 5 kali dalam sehari semalam. Bahkan dalam surah Al Muzammil, Rasulullah SAW diperintahkan untuk shalat dengan kiblat ke arah Baitul Maqdis, belum kemudian ke arah Ka’bah.
“Sementara yang disebut kiblat adalah titik persatuan umat, dimanapun umat Islam berada maka titik persatuannya adalah kiblat. Dulu kilblat kita adalah Baitul Maqdis, maka Masjidil Aqsa adalah titik persatuan umat Islam sebelum isra’ miraj,” kata El-Awaisi.
Ketum Imam mengaku beruntung bisa jumpa langsung dan bersalaman bahkan diskusi menyimak pikiran utama Prof. DR. Abdul Fatah El Awaisi, seorang pakar pada bidang Baitul Maqdis atau Masjid Alqsha di Yerussalem Palestina.
Pada kesempatan kuliah tersebut tampak sekali beliau sangat antusias. Peraih anugerah Sains Dunia Islam (Islamic World Istanbul Science Award) (kategori Dunia Islam) itu menyampaikan bahwa selain bentuk peduli dengan memberikan sebagian harta untuk Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsha langkah dasar yang semua umat Islam harus sadari adalah bagaimana memberi hadiah untuk Baitul Maqdis.
Hadiah itu menurut riwayat dari dialog Nabi Muhammad SAW dengan Maimunah bin Sa’ad bukanlah materi, tetapi ilmu, kecintaan dan kekuatan niat untuk membebaskan Baitul Maqdis dari penjajahan. Kesadaran ini menurutnya harus tumbuh dalam diri setiap umat Islam. Sebab secara historis dan normatif, eksistensi dari Masjidil Aqsha atau Baitul Maqdis adalah bagian dari aqidah kita sebagai Muslim.
Beliau pun menerangkan mengapa dirinya jauh-jauh datang ke Indonesia, adalah dalam rangka memberi hadiah kepada Baitul Maqdis dengan cara menyampaikan perihal ilmu, kecintaan dan niat untuk ikut membela Baitul Maqdis. Alasan puncak dari itu semua adalah karena memberi hadiah kepada Baitul Maqdis itu merupakan cara yang Rasulullah SAW perintahkan kepada kita semua. Yang apabila kita melakukannya, maka kita dapat pahala seperti sholat di dalam Masjid Al-Aqsha.
Bagi Ketum Imam, upaya Prof El Awaisi terbilang bukan biasa. Hal ini karena beliau telah aktif selama 30 tahun melakukan penelitian perihal Baitul Maqdis yang dasarnya benar-benar petunjuk Nabi, sejarah Umar bin Khathab dan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Dari ketekunan dan kedisiplinannya berpuluh tahun itu, penelitian Prof El Awaisi bersih dari unsur khayalan, keraguan apalagi ketidakpastian. Terbaru Prof El Awaisi telah siapkan buku yang syukur telah hadir dalam edisi Bahasa Indonesia dengan judul “Roadmap Nabawiyah Pembebasan Baitul Maqdis". Buku ini merupakan saripati dari perjalanan dan pengalaman ilmiah selama berpuluh-puluh tahun dengan asas falsafah pergerakan.
Bagi Prof El Awaisi, ilmu memimpin perubahan dan pembebasan dan peradaban. Jadi, upaya beliau untuk memberi hadiah kepada Baitul Maqdis sudah sangat panjang, lebih dari sekedar totalitas.
"Tentu kita patut iri kepada beliau yang memiliki anugerah ilmu dari Allah kemudian beliau jadikan ilmu itu untuk membela agama Allah," kata Imam yang dipanggil dan berbincang khusus dengan Prof El Awaisi usai acara tersebut.
Menurut Imam, kaum muda perlu belajar banyak kepada Profesor El-Awaisi. Mulai dari kecintaannya terhadap ilmu sampai semangatnya menebar kebaikan ke seluruh penjuru bumi untuk memberi hadiah kepada Baitul Maqdis. (ybh/hio)