Sekolah untuk Sekedar Mendapatkan Gelar dan Ijazah?
Oleh Adam Marzuki*
MEMILIKI kemampuan dan kapasitas dalam bidang keilmuan bisa dikatakan menjadi harapan dan keinginan setiap orang. Hal ini dikarenakan tantangan kehidupan yang semakin berat sehingga pengetahuan (knowlwdge) serta pemahaman mendalam (deeply understanding) menjadi satu kebutuhan yang sangat penting untuk dimiliki.
Dalam Islam khususnya, sejarah telat mencatat dalam tinta emas bagaimana para ilmuan (ulama) yang jumlahnya begitu banyak sangat bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Hal ini dibuktikan dengan ratusan bahkan ribuan karya yang diwariskan dan menjadi sumber refrensi para ilmuan sampai saat ini.
Beberapa ulama dan karyanya yang begitu luar biasa yang hari ini masih menjadi sumber rujukan dalam berbagai bidang, dapat kita sebut diantaranya ada Imam Asy Syafi'i dengan karya monumentantal: kitab Ar-Risalah, kitab yang konsen dalam bidang usul fiqih.
Selanjutnya Muhammad bin Ismail Al Bukhari atau yang lebih umum dikenal dengan sebutan Imam Bukhari dengan karya monumental: Sahih Bukhari, sebuah ensiklopedia karya manusia yang paling akurat yang pernah tercipta sepanjang sejarah bumi ini.
Tentu karya yang gemilang ini tidak dilahirkan dari proses yang sederhana dan ringan. Sebaliknya, membutuhkan ketekunan dan kedalaman perhatian. Sebutlah misalnya Imam Bukhari dengan ikhlas menghibahkan masa mudanya dalam memenuhi semua perangkat kapasitas diri untuk memikul tugas besar mengumpulkan hadits sahih.
Tidak sampai disitu, manusia hebat itu berkontribusi mencetak manusia hebat lainnya. Seorang murid yang keagugannya mengikuti gurunya, Imam Muslim dengan Sahih Muslim-nya. Sehingga kedua sahih itu menenpati derajat tertinggi dalam literatur Islam setelah Al Qur'an.
Dari cerita singkat beberapa ulama di atas dapat kita simpulkan betapa kesungguhan dan tekad yang kuat yang dimiliki para ulama dalam belajar dan menguasai bidang ilmu mengantarkan mereka dalam melahirkan karya luar biasa (kontribusi unggulan) yang membuat mereka dikenang sampai saat ini (jariyah).
Tantangan masa kini
Lalu, kontribusi apa yang akan kita persembahkan untuk kemanusiaan kini dan yang akan datang agar kita dikenal dan dikenang sepanjang masa dengan legacy yang mengakar kuat. Terlebih saat ini kita hidup dalam kondisi yang begitu cepat dan dinamis akibat dari kemajuan teknologi atau yang lebih umum dikenal dengan era globalisasi.
Kita tau bahwa era ini muncul sebagai respon terhadap era modern yang lebih mengutamakan akal, empirik, dan hal-hal yang bersifat materialistik, sekularistik, hedonistik, fragmatik, dan transaksional. Yaitu pandangan yang memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Akibat dari kehidupan yang demikian itu manusia menjadi bebas berbuat tanpa landasan spritual, moral, dan agama.
Hal ini tentu menjadi tantangan sekaligus peluang yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sehingga peran ilmu pengetahuan, kebesaran jiwa, dan spritual amat sangat dibutuhkan dalam misi besar menjadikan tantangan sebagai peluang.
Kita tidak akan mampu tampil sebagai aktor dalam memecahkan setiap masalah (problem solver) jika tidak memiliki kapasitas keilmuan yang memadai, sebab dari situlah akan muncul ide, gagasan akan sebuah perubahan kemudian diwujudkan dalam aksi nyata.
Fakta yang terjadi hari ini dan cukup menyedihkan. Bagaimana tidak sedikit generasi muda yang diharapkan ikut mengambil peran penting dalam memberikan kontribusi terbaiknya justru terjebak pada hal alegoris belaka dimana yang terpenting dalam proses belajar menurut mereka adalah yang penting "memperoleh gelar dan ijazah".
Paradigma semacam itu keliru, sebab pada akhirnya ia boleh jadi akan terbelenggu pada ruang ruang gelap kebekuan berpikir dan kering kreatifitas karena memahami proses belajar hanya pada hal simbolik: gelar dan ijazah. Ia tampaknya lupa, bahwa, meminjam istilah Rocky Gerung, "Ijazah hanyalah tanda pernah sekolah, nukan tanda pernah berpikir".
Pada titik inilah, kita tentu bisa mengukur kapasitas seseorang dalam bidang keilmuan. Niat serta ketulusan yang kuat tentu sangat berpengaruh terhadap hasil belajar seseorang.
Amat mengkhawatirkan apabila mereka yang memiliki cara pandang "asal dapat gelar dan ijazah" menduduki posisi strategis, baik di pemerintah ataupun di institusi pendidikan, maka dimungkinkan akan lahir generasi yang memiliki cara pandang serupa atau bahkan lebih parah. Tentu ini akan menjadi masalah baru, generasi yang diharapkan bisa menjadi solusi atas masalah justru menjadi bagian dari masalah.
Sehingga harapan untuk melahirkan generasi unggul dalam rangka menjawab tantangan zaman menjadi sirna dan sebatas mimpi. Sebab beban kontribusi yang harus kita berikan berbanding lurus dengan kapasitas yang kita memiliki, sebagaimana firman Allah dalam surah Al Baqarah: 286
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kapasitasnya"
Artinya, jika selama ini kita merasa bahwa perjalan hidup ini biasa-biasa dan tidak ada tantangan yang berarti, bisa jadi karena kapasitas kita yang minim sehingga Allah SWT pun memberikan ujian dan tantangan yang biasa biasa saja.
Tentu kita menyadari bahwa proses dalam menempa diri agar memiliki kemampuan unggul dan kompetitif serta melahirkan karya yang gemilang tidak selamanya harus ditempuh melalui jalur formal di bangku sekolah dan universitas.
Sejarah telah mencatat bagaimana geliat para ulama dalam mendalami bidang ilmu. Mereka tidak tanggung-tanggung menyambangi rumah guru secara langsung, bertemu di surau atau masjid hingga rela menjelajah ke negeri negeri yang jauh meski harus menempuh perjalanan yang jauh nan sulit. Bahkan tidak jarang dari mereka meminta untuk ikut tinggal dirumah sang Guru dalam beberapa waktu.
Saat inipun banyak kita temukan orang-orang yang memiliki kemampuan yang sangat baik dalam bidang keilmuan tertentu dengan hanya mengenyam pendidikan informal atau tidak sampai meraih gelar dan ijazah. Mereka mampu menunjukkan kiprah dan karya yang sangat bermanfaat ditengah umat.
Garis merahnya adalah niat, tekad, dan kesungguhan yang kuat menjadi hal penting bagi seseorang untuk menghasilkan sesuatu yang memuaskan. So, mari luruskan niat serta kuatkan tekad dalam bersungguh-sungguh mencari ilmu, baik melalui jalur formal atau informal semata-mata karena ibadah.
Apalagi saat ini berbagai kemudahan dalam belajar dapat kita rasakan dengan adanya teknologi dimana kemudian proses pendidikan itu terasa lebih santai sebab bisa diikuti dimanapun dan dalam kondisi apapun. Sehingga kondisi ini jangan sampai mengurangi esensi dari proses pendalaman ilmu pengetahuan.
Kesungguhan menjadi titik tekan sebab selain kewajiban belajar untuk melepaskan diri dari kejahilan, kita juga memiliki tugas untuk menyampaikan atau mendidik (ta'lim) sebagaimana tema tagline "Semua Murid Semua Guru" dalam acara pesta pendidikan yang diselenggarakan oleh Kemendikbud pada tahun 2016 silam, bahwa semua kita adalah kaum pembelajar yang dituntut untuk terus belajar disaat yang sama kita juga adalah seorang guru yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan ilmu.
Gelar dan Ijazah adalah bentuk apresiasi fisik yang simbolik dari proses belajar yang kita lalui. Namun kemampuan holistik, skil praktis, kecakapan konfrehensif, pikiran progresif, kepribadian yang responsif, serta spiritual yang aktif menjadi hal penting untuk dimiliki dari proses belajar dan inilah sejatinya substansi dari proses tersebut. Selamat Berjuang.
*)Adam Marzuki, penulis adalah Sekretaris Wilayah PW Pemuda Hidayatullah DKI Jakarta