Refleksi Piala Dunia 2022 dan Dimensi Peragaan Islam
Oleh Adam Marzuki*
PIALA Dunia (world cup) 2022 yang berlangsung di Qatar menjadi obrolan hangat akhir-akhir ini. Ya, perhelatan empat tahunan ini sekaligus menjadi gelaran ke-22 kalinya dalam sejarah. Setidaknya ada 32 negara yang diumumkan oleh Federation International de Football Association (FIFA) yang berkompetisi di Qatar.
Menarik Perhatian
Bukan piala dunia namanya kalau tidak mengundang antusias para penggemar bola di seluruh penjuru dunia. Bagi sebagian orang, piala dunia menjadi pesta olahraga yang dinanti-nantikan. Seolah ini menjadi kegemaran yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Terbukti, tidak hanya menarik perhatian masyarakat perkotaan, tapi juga sampai di desa-desa bahkan yang lebih terpencil lagi. Agar tidak ketinggalan, tidak sedikit dari mereka (penduduk desa) rela merogoh kocek untuk menyiapkan alat-alat penunjang jaringan.
Bahkan diantara warga ada yang memindahkan antena parabola ke atas genteng agar mendapatkan sinyal (frequency) yang maksimal. Wajar, di desa masih mengandalkan antena parabola.
Tak sedikit juga yang secara bersama-sama (kolektif) mendidirikan tenda khusus untuk nonton bareng (nobar) piala dunia, lengkap dengan layar dan proyektor (infocus). Sungguh perhelatan empat tahunan ini begitu dinantikan dan diperlakukan spesial.
Yang tak kalah menarik, perhelatan piala dunia tahun ini juga banyak mengundang perhatian jutaan pasang mata penduduk dunia (world citizen) khususnya penduduk muslim. Mulai dari pembukaan (open ceremony) dengan lantunan ayat suci Al-Quran sampai dengan berlangsungnya kompetisi.
Momentum Menebar Kebaikan
Qatar yang merupakan negara pertama dari kawasan Timur Tengah yang ditunjuk menjadi tuan rumah piala dunia 2022 sejak awal sudah menunjukan sikap tegas terhadap hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syariat. Mulai dari pelarangan alkohol, judi, pasangan yang bukan suami istri dan LGBT.
Selain itu, Qatar juga gencar mengkampayekan Islam rahmatan lil 'alamiin melalui mural-mural hadits yang dipasang di sejumlah titik strategis Doha, memasang barcode di kamar pengunjung serta memperdengarkan suara adzan di stadion.
Qatar memanfaatkan momen tersebut sebagai ajang mempromosikan Islam di mata dunia dengan mempertahankan nilai-nilai yang dianut di negaranya. Kontra narasi terus dibangun oleh Qatar terhadap pemberitaan negatif yang selama ini membidik Islam dan pemeluknya.
Dakwah di atas Rumput Hijau
Bukan hanya Qatar. Beberapa club yang berasal dari Timur Tengah tidak melewatkan momentum untuk berdakwah. Selebrasi sujud serta mencium tangan dan kepala ibu setelah mencetak gol oleh beberapa pemain menjadi pemandangan yang tidak biasa.
Sikap para pemain dan penduduk Qatar dalam pemperlihatkan akhlak Islam menjadi perbincangan hangat ditengah penggemar bola. Pasalnya, Islam serta pemeluknya selama ini seolah tidak mendapatkan ruang untuk memperlihatkan keindahan Islam akibat dominasi budaya barat (westernisation).
Perasaan bangga serta haru menyelimuti umat Islam sebagai luapan emosi kebahagian atas sikap serta framing (bingkai) negatif selama ini yang dialamatkan kepada Islam. Seolah perhelatan piala dunia menjadi momentum dalam mendakwakan Islam dikanca dunia.
Masih "Sebatas" Semangat Berislam
Namun disaat yang sama, umat Islam hari ini yang menyakini kebenaran serta seluruh keindahan akhlak Islam belum terinternalisasi dalam diri yang dapat ditampilkan dalam segala aspek kehidupan. Kebenaran ajaran Islam belum menjadi jati diri umat Islam sehingga sangat rentan berubah mengikuti trend.
Tentu ini menjadi persoalan keummatan yang perlu perhatian serius. Dimana umat Islam masih pada tataran semangat menjalankan rukun Islam namun belum pada tingkatan beriman (QS. Al Hujurat [49] :14) yang beranjak dari pengamalan ritual syariat menjadi keyakinan (akidah) yang diantara dimensinya adalah diperagakan dalam bentuk kerja-kerja sosial, pendidikan, penelitian, kesehatan, pertanian, dan lain sebagainya yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia.
*) Penulis adalah Sekretaris Wilayah PW Pemuda Hidayatullah DKI Jakarta