Koalisi, Oposisi, atau Mengamati Situasi?
Apa yang kita saksikan, rasakan, dan jalani di muka
bumi ini pada hakikatnya hanyalah sebuah sandiwara belaka dalam segala aspek
kehidupan. Fenomena ini mencakup berbagai lapisan kehidupan kita sehari-hari,
dari hubungan pribadi hingga dinamika sosial dan politik.
Sebagai manusia, kita sering kali terjebak dalam
ilusi bahwa segala sesuatu di sekitar kita bersifat permanen dan absolut.
Padahal, dalam perspektif agama dan filsafat, kehidupan dunia ini hanyalah
sementara dan penuh tipu daya.
Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an:
وَمَا ٱلۡحَیَوٰةُ ٱلدُّنۡیَاۤ
إِلَّا لَعِبࣱ وَلَهۡوࣱۖ وَلَلدَّارُ ٱلۡـَٔاخِرَةُ خَیۡرࣱ لِّلَّذِینَ
یَتَّقُونَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ
[Surat Al-An’am: 32]
"Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan
dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?"
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengupas sebuah
topik yang sangat relevan dengan kondisi sosial-politik saat ini, yaitu
sandiwara kekuasaan. Di Indonesia, kita sering melihat bagaimana kekuasaan
sering kali dijadikan alat untuk memanipulasi dan mengendalikan masyarakat.
Dalam konteks ini, Al-Qur'an memberikan kita tiga kisah berharga yang dapat
menjadi pelajaran dalam menghadapi situasi serupa.
1. Kisah Nabi Ibrahim AS dan Raja
Namrud
Kisah Nabi Ibrahim AS dengan Raja Namrud adalah
salah satu contoh monumental tentang bagaimana penguasa yang zhalim bisa
menantang kebenaran. Namrud, seorang raja yang sangat zalim, mengklaim
kemampuannya untuk menghidupkan dan mematikan, sebuah klaim yang jelas
bertentangan dengan kenyataan karena dia bahkan tidak mampu melakukan hal
sederhana seperti menerbitkan matahari dari barat. Tindakan Namrud ini
merupakan contoh dari keangkuhan dan penolakan terhadap kebenaran ilahi.
Nabi Ibrahim AS, dalam menghadapi tirani Namrud,
menunjukkan keteguhan iman dan kebijaksanaan. Meskipun dia berada dalam posisi
yang sangat lemah dan tertekan, Ibrahim AS tetap berpegang pada prinsip-prinsip
kebenaran. Keteguhan dan kesabaran Nabi Ibrahim AS adalah pelajaran penting
tentang bagaimana kita harus bertindak dalam menghadapi penguasa yang zalim.
Ketika kebenaran diabaikan dan kekuasaan disalahgunakan, keteguhan iman dan
strategi yang bijak sering kali menjadi alat untuk mengatasi ketidakadilan.
2. Kisah Nabi Musa AS dan Firaun
Kisah Nabi Musa AS menghadapi Firaun adalah contoh
klasik dari pertempuran antara kebenaran dan kesombongan kekuasaan. Firaun
menganggap dirinya sebagai Tuhan dan menindas rakyatnya dengan kejam. Dalam
Al-Qur'an, kisah Firaun diabadikan sebagai pelajaran penting tentang
konsekuensi dari keangkuhan dan ketidakadilan. Firaun yang menolak untuk
menerima kebenaran dan terus menindas rakyatnya akhirnya mengalami kehancuran.
Nabi Musa AS, dengan bantuan dari Allah SWT,
menghadapi tantangan besar dalam perjuangannya melawan Firaun. Dia menunjukkan
kepemimpinan yang penuh keberanian dan dedikasi untuk menegakkan keadilan.
Dalam konteks ini, kita belajar bahwa melawan kekuasaan yang zalim memerlukan
keberanian, strategi yang matang, dan keyakinan yang kuat pada kebenaran.
3. Kisah Ashabul Kahfi
Kisah Ashabul Kahfi adalah contoh lain dari
ketahanan iman di tengah penindasan kekuasaan. Pemuda-pemuda ini melarikan diri
ke dalam gua untuk melindungi iman mereka dari kekuasaan yang menekan dan
memaksa mereka untuk menyembah berhala. Kisah mereka, yang diabadikan dalam
Al-Qur'an dan menjadi nama salah satu surat, menunjukkan bagaimana mereka
memilih untuk bersembunyi dan mempertahankan iman mereka ketika dihadapkan pada
situasi yang sangat sulit.
Keputusan Ashabul Kahfi untuk bersembunyi dan
menjaga iman mereka di tengah penindasan merupakan pelajaran penting tentang
ketahanan dan strategi yang tepat dalam menghadapi kekuasaan yang tidak adil.
Kadang-kadang, menjauh dan bersembunyi dari kekuasaan yang menindas adalah
pilihan yang bijaksana untuk menjaga integritas iman.
Strategi Menghadapi Kekuasaan
yang Zalim
Ketiga kisah ini mengajarkan kita bahwa sandiwara
kekuasaan sering kali berujung pada kehinaan bagi penguasa yang zalim. Namun,
pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya kita menyikapi sandiwara kepemimpinan
yang zalim? Apakah kita harus bersikap brutal dan terang-terangan, masuk ke
dalam lingkaran kekuasaan dan mengatur kekuatan, atau diam dalam kesunyian
asalkan iman tetap terjaga?
Al-Qur'an memaparkan ketiga kisah ini agar kita
dapat merumuskan strategi yang paling tepat dalam menghadapi kepemimpinan yang
menindas. Pilihan kita mungkin bergantung pada konteks dan situasi yang kita
hadapi. Kadang-kadang, sebuah tindakan langsung dan terang-terangan diperlukan
untuk melawan ketidakadilan, sementara di waktu lain, strategi yang lebih
hati-hati dan cermat mungkin lebih efektif. Mungkin juga ada kalanya kita harus
memilih untuk menjauh dan menjaga iman kita dalam situasi yang tidak memungkinkan
perubahan langsung.
Penting untuk merenungkan bahwa setiap situasi
sandiwara kekuasaan memerlukan pendekatan yang kondisional dan sesuai dengan
konteksnya. Memahami hikmah di balik ketiga kisah tersebut dapat membantu kita
dalam merumuskan strategi yang bijaksana dan efektif dalam menghadapi tantangan
kekuasaan yang tidak adil.
*) Ketua Umum Pemuda Hidayatullah